Konsorsium Sertifikasi Guru


Ass Wr Wb Jika ingin mengetahui lebih lanjut tentang Konsorsium Sertifikasi Guru, BACALAH DI LINK BERIKUT:

http://ksg.dikti.go.id/ksg_v4/home

Wss Wr Wb Erwanto Guntoro.















pengertian apersepsi,eksplorasi,elaborasi dan konspirasi

Apersepsi adalah menyampaikan tujuan pembelajaran yang bertujuan untuk memotifasi peseerta didik dengan memberi penjelasan tentang pentingnya mempelajari materi ini.
Eksplorasi dalam materi mengenai himpunan :
- Peserta didik diberikan stimulus berupa pemberian materi oleh guru mengenai cara menyatakan masalah sehari-hari dalam bentuk himpunan beserta data anggotanya,mengenai anggota dan bukan anggota himpunan,notasi himpunan,himpunan berhingga dan tak terhingga,himpunan kosong dan nol serta notasinya, juga pengertian himpunan semesta beserta anggotanya, kemudian antara peserta didik dan guru mendiskusikan materi tersebut.
- Peserta didik dan guru secara bersama-sama membahas contoh dalam buku paket mengenai cara menuliskan kumpulan bilangan yang diberikan kedalam bnetuk himpunan.
- Melibatkan peserta didik mencari informasi yang luas dan dalam tentang topik/tema materi yang akan dipelajari dengan menerapkan prinsip belajar dari berbagai macam sumber.
- Menggunakan beragam pendekatan pembelajaran,media pembelajaran dan sumber belajar lain.
- Memfasilitasi terjadinya interaksi antar peserta didik serta antara peserta didik dengan guru,lingkungan dan sumber belajar lainnya.
- Melibatkan peserta didik secara aktif dalam setiap kegiatan pembelajaran.

Elaborasi,dalam kegiatan elaborasi guru :
- Memfasilitasi peserta didik melalui pemberian tugas,diskusi dan lain-lain untuk memunculkan gagasan baru,baik secara lisan maupun tertulis.

TAHLIL DAN TAHLILAN

I. Pengertian-Pengertian Dasar
Tahlil belum tentu tahlilan, tetapi dalam tahlilan pasti ada bacaan tahlil. Tahlil adalah nama lafal essensi tauhid laa ilaaha illa-llaah (tidak ada Tuhan selain Allah). Tahlilan adalah seperangkat formula yang terdiri atas sejumlah kalimah thayyibah, surat-surat pendek, ayat-ayat, atau bahkan potongan-potongan ayat Alqur’an yang dibaca baik secara individual maupun komunal (sendiri-sendiri atau berjamaah/koor), didasari keyakinan bahwa membacanya memperoleh pahala dari Allah swt. Pahalanya dikirimkan untuk orang yang sudah mati atau masih hidup tetapi diperlakukan seperti orang yang sudah mati, umpama seorang yang sedang haji ditahlili sejak hari pemberangkatannya hingga hari ke tujuh setelah itu tiap malam Jumat hingga yang haji kembali ke rumah dengan selamat
Yang dimaksud dengan kalimah thayyibah secara literal adalah kalimat-kalimat yang baik, berasal dari Alqur’an, seperti surat Ikhlas, al-muta’wwizatain, dan ayat kursi; al-Hadis seperti tahlil, tahmid, takbir, tasbih hauqalah, Shalawat, maupun rumusan ulama, seperti hadlrah, tawasul, hadiyyah, dan doa (bisa dari Rasulullah maupun dari ulama).
Tahlilan merupakan ritus keagamaan khas Islam santri baik secara legal atau kultural yang dilaksanakan pada hari pertama hingga hari ketujuh kematian seseorang, pada hari ke 40, hari ke 100, ulang tahun kematian pertama (mendhak pisan), ulang tahun kematian kedua (mendhak pindho), hari ke 1000 (nyewu), dan selanjutnya tiap tahun sekali (haul) sejauh dikehendaki oleh keluarga si mayyit. Ulama atau kiyai besar biasanya selalu di-haul-i
Ritus tahlilan biasa dilaksanakan pada malam Jumat (kamis sore) sesudah shalat ‘Ashar di makam-makam, atau sesudah shalat maghrib atau sesudah shalat ‘Isya’ di masjid atau di mushalla, atau di majlis-majlis taklim. Tahlilan bisa dilaksanakan di hari-hari lain atas dasar kesepakatan warga (partisipan) dan tempatnya bergantian di antara mereka. Ritus ini menjadi kelengkapan memeriahkan ‘Idul fitri, yakni setelah shalat id kemudian ramai-ramai ke makam leluhur untuk tahlil di sana, atau paruh terakhir bulan Sya’ban yang biasa disebut ruwahan atau nyadranan. Dalam nyadranan juga ada ritus yang disebut kirim arwah jamaah, yaitu masing-masing jamaah bisa mendaftar nama-nama orang yang sudah meninggal dari kerabatnya dan untuk masing-masing nama, ia membayar sejumlah uang (katakanlah RP.5.000) kepada ulama atau kiyai atau kepanitiayaan yang menyelenggarakan upacara tahlilan. Uang ini bisa digunakan untuk membangun sarana ibadah, santunan kaum dlu’afa’, santunan anak yatim, atau tujuan-tujuan lain kepentingan umat. Akan tetapi tidak jarang penggunaannya untuk yang memimpin upacara arwah jamaah tersebut. Sesudah upacara tahlilan selesai, biasanya diikuti dengan ramah tamah atau makan-makan, bisa saja hanya snack ala kadarnya, tetapi pada hari ke tujuh kematian seseorang dan peringatan-peringatan selanjutnya bisa cukup istimewa, bahkan sepulang tahlilan partisipan dibawai nasi dos, takir, atau berkat. Perkembangan selanjutnya berkat tidak berisi nasi, melainkan kue-kue dengan pertimbangan praktis bisa dikonsumsi lain hari dan kondisi makanan masih tetap baik dan tidak basi, atau berwujud bahan mentah yang belum dimasak seperti: me instan, gula pasir, teh bungkus, telur ayam, dan uang sekedarnya. Khususnya di dalam majlis taklim, tahlilan bisa menyatu dengan yasinan, pembacaan nazhaman al-asma’ al-husna, mujahadahan, atau istighasah-an.
Sebenarnya, tujuan final tahlilan adalah mengirim pahala kepada si mayyit. Kiriman ini dipohonkan kepada Allah. Manfaat pahala seterusnya bisa berbentuk ampunan, pembebasan dari siksa kubur, siksa neraka, dan akhirnya masuk surga penuh dengan kenikmatan, dan kedamaian abadi tanpa batas. Dengan begitu, tahlilan dihayati sebagai bentuk kesolehan yang meruncing pada birr al-walidain (berbakti kepada orang tua atau meluas kepada leluhur dan sanak kerabat yang telah meninggal). Pengertian ini termasuk dalam konsep hasanah Jawa mikul dhuwur mendhem jero. Akan tetapi, forum tahlilan sering dimannfaatkan untuk tujuan lain, seperti penggalangan politik untuk mendukung calon presiden, gubernur, bupati/walikota, lurah/kepala desa, calon anggota DPR (legislatif), atau kemenangan pemilu bagi partainya, atau untuk memecahkan problem umat atau bangsa.
Upacara tahlilan untuk masyarakat luas telah menjadi budaya yang mapan (devinitif) atau prevalensi (kelaziman/kemestian) sehingga berimplikasi klaim bahwa, jika ada orang mati dan tidak ditahlili diibaratkan seperti kematian binatang.”Wong mati yen ora ditahlili koyo matine kebo utowo kucing”, klaim seperti itu sering terdengar dari lisan pengamal dan penghayat tahlilan ketika mengomentari ada peristiwa kematian dari warga shahibul musibah yang tidak menyelenggarakan prevalensi perjamuan tahlilan. Implikasi selanjutnya, keluarga si mayyit yang tidak menyelenggarakan upacara tahlilan tidak disebut sebagai ‘ahlu sunnah waljamaah’ dan sering didiskriminasikan dalam berbagai kerukunan sosial, jika keluarga si mayyit tersebut merupakan warga minoritas di kampungnya.
Dilihat dari partisipan pelaksanaan tahlilan, ritus ini dapat dibagi menjadi dua, tahlilan biasa, dan tahlil kubra. Dalam tahlilan kubra melibatkan massa yang banyak (kolosal) dan dihadiri sejumlah kiyai besar dari berbagai kota, dilaksanakan di alun-alun, atau di suatu kampus pondok pesantren besar di kota atau di desa. Tahlilan semacam inilah yang biasanya sarat dengan muatan-muatan lain: atas nama kepentingan bangsa, keprihatinan nasib bangsa yang kurang menguntungkan, atau penggalangan politik praktis
Dalam acara istighasahan, mujahadahan, pengajian akbar atau yang sejenisnya, unsur tahlilan hampir tidak pernah tertinggal, dan biasanya malah didahulukan dari pada acara yang lain
Dalam ziarah walisongo atau trend kotemporer disebut wisata religius, tahlilan adalah unsur yang hamper mesti ada, dan ini dikirimkan kepada wali yang sedang diziarahi, termasuk kerabat wali di makam itu, meluas kepada tokoh-tokoh agama setempat dan umumnya kaum muslimin laki-laki mauapun perempuan, baik yang masih hidup maupun yang sudah mati.

I. Analisis Tentang Tahlilan
Tahlil merupakan tuntunan dari dari Rasulullah, yaitu melafalkan: laa ilaaha illallaah, sementara tahlilan merupakan kreasi ulama, entah siapa namanya, telah menjadi upacara keagamaan dan telah menjadi standar ukuran sholeh dan tidak sholeh keberagamaan seseorang. Sudah barang pasti ukuran ini meleset. Ukuran sholeh dan tidak sholeh dalam hal ibadah yang bersifat ritual harus hanya yang berasal dari Allah dan Rasulullah atas dasar sabda beliau dalam khutbah haji wada’ sebagai berikut:
تركت فيكم امرين لن تضلوا ابدا ما إنتمسكتم بهما, كتاب الله وسنت رسوله.
Aku tinggalkan kepadamu semua dua perkara. Kamu tidak akan sesat selamanya selagi berpegang teguh keduanya, yaitu kitabullah (al-Qur’an) dan Sunnah Utusan-Nya.
Jika dalam hal urusan muamalah atau keduniawian, standar sholeh dan tidak sholeh bisa saja bersumber dari luar al-Qur’an dan as-Sunnah seperti dari moral, etika, adat-istiadat setempat sepanjang secara prinsip tidak bertentangan dengan tauhid dan kemaslahatan umum.
Jika dicermati dalam-dalam, tahlilan yang beredar di tengah-tengah masyarakat luas ini terdapat unsur-unsur yang sangat krusial, yaitu:
1. Mengirim pahala
Makna mengirim adalah memberikan ‘sesuatu’ kepada orang lain dengan menggunakan perantara, orang lain, teman, kurir, atau tukang pos. Jika ‘sesuatu’ itu berwujud pahala, Siapa yang menjadi perantara pengiriman? Tidak ada teks apapun dari Allah dan Rasululah yang menjelaskan tentang pengiriman pahala. Itulah
sebabnya dalam naskah tahlilan yang beredar ini Allah lah yang menjadi kurir, dengan rumusan di awal-awal upacara itu menggunakan hadlrah: ilaa hadlarati . . . dan di akhir upacara tersebut mengucapkan ‘doa’ Allahhumma taqabbal wa aushil tsawaaba maa qaraknaa . . .(Ya Allah terimalah dan sampaikan pahala apa yang aku baca . . .) Hakikatnya, perbuatan ini menghina Allah serendah-rendahnya, meskipun yang bersangkutan tidak merasa menghina-Nya, yaitu memposisikan Allah sebagai kurir, na’udzubillah min dzalik. Padahal Allah itu Maha Pemberi rezeki (ar-Razzaaq), Maha Kuasa (al-Qadiir), Maha kuat (al-Matiin), Maha Pemberi (al-Wahhaab), Maha Kasih Sayang (ar-Rahiim). Dengan kualitas seperti itu, yang pantas adalah ‘memohon’ kepada-Nya. Bahasa Arab kata memohon adalah berdoa. Rasulullah bersabda “Man lam yada’ yaghdlab. Rawahu at-Turmudzi ” (Barang siapa yang tidak memohon Dia Murka HR. at-Turmudzi). Di tengah-tengah masyarakat terdapat istilah yang kabur atau barangkali sengaja dikaburkan oleh oknum-oknum tertentu dengan istilah ‘kirim doa’. Esensi doa adalah meminta atau memohon. Kegiatan ini dilakukan karena yang bersangkutan tidak memiliki sesuatu, lalu kepingin memilikinya, sementara ia tidak mempunyai alat tukar atau membeli untuk memilikinya. Sementara itu mengirim mempunyai pengertian seperti yang baru saja dijelaskan terdahulu. Jadi ungkapan ‘kirim doa’ sebenarnya tidak bermakna (mystical language). Anehnya berkembang luas di masyarakat. Akhirnya, kita segera tahu bahwa masyarakat itu segera disadarkan esensi kirim, esensi doa, dan esensi tahlilan.
Dasar hukum bahwa orang mati supaya didoakan adalah hadis berikut: Ketika Raja Najasyasi meninggal dunia, informasi sampai kepada beliau, selanjutnya Rasulullah bersabda:
إستغفروا لأخيكم . . . {رواه البخارى ومسلم عى ابى هريرة}
Mohonkan ampunan untuk saudaramu (HR. al-Bukhari dan Muslim/Muttafaqun ‘alaih dari Abi Hurairah).
Syariat formal memohonkan ampunan terhadap orang mati adalah menyalatinya. Di dalam menyalati itu ada doa khusus ampunan si mayit, yaitu antara lain “Alahummaghfir lahu . . . dan seterusnya” Selanjutya, doa semacam itu boleh diucapkan/dilakukan di luar shalat jenazah secara formal.
Jika orang tidak bisa berdoa untuk orang mati dengan bahasa Arab yang secara redaksional dituntunkan oleh Rasulullah, boleh berdoa dengan menggunakan bahasa ibu atau bahasa non Arab. Secara fumgsional justru lebih utama berdoa dengan bahasanya sendiri daripada berdoa dengan bahasa Arab tetapi tidak mengetahui makna redaksinya. Mengapa? Hakikat doa adalah meminta. Kalau meminta kok tidak tahu isi permintaannya, ini perbuatan konyol. Apa bedanya radio dan televisi yang oleh telinga manusia tampak dan terdengar menyanyi sangat indah, sementara radio dan televisi tersebut tidak menyadari bahwa ia menyanyi. Akan lebih runyam lagi ketika mengucapkan hadlrah, hadiah pahala, dan berdoa yang ada unsur redaksi Allahumma taqabbal wa aushil tsawaaba maa qara’na, . . . dan tidak tahu arti ucapan doanya itu. Perbuatan ini salah bertumpuk-tumpuk. Doanya tidak menyambung kepada Allah secara fungsional karena tidak ada kesadaran bahwa dirinya meminta kepada-Nya, dan tidak ada tuntunannya dari Rasulullah. Untuk itu, mari sadarlah, , ,mari beragama itu yang fungsional. Fungsionalisasi agama adalah pelaksanaan huda dari agama itu sendiri. Mari, para tokoh-tokoh agama, dewasakan umat! Berilah pengetahuan agama yang benar yang bersumber dari Allah dan Rasulullah. Kasihanilah mereka dengan memberi sesuluh yang autentik dari junjungan Nabi Besar Muhammad saw. Jangan menjadi pendusta agama dengan mencipta-cipta upacara-upacara keagamaan. Jangan berada di bawah praduga ‘bahwa mereka tidak tahu, kalau mereka tahu pasti mau melaksanakan tahlilan yang di dalamnya ada hadlrah, hadiah, dan tawasul’. Anggapan itu keliru besar! Di seberang sana juga banyak orang yang telah mengetahui bahwa perbuatan itu salah karena tidak ada contohnya dari Rasulullah, para sahabat, para tabi’in, dan para tabi’ut tabi’in. Artinya, mereka tahu bahwa pengiriman pahala itu bukan syariat Islam. Tidak ada keterangan apa pun dari Allah dan Rasulullah bahwa Rasululah mengirim pahala untuk Khotijah istri tercinta beliau. Tidak ada keterangan apa pun dari Allah dan Rasulullah bahwa ‘Aisyah mengirim pahala untuk Rasulullah. Tidak ada keterangan apa pun dari Allah dan Rasulullah bahwa para sahabat mengirim pahala untuk Rasulullah. Tidak ada keterangan apa pun dari Allah dan Rasulullah bahwa para tabi’in mengirim pahala untuk sahabat. Tidak ada keterangan apa pun dari Allah dan Rasulullah bahwa tabi’uttabi’in menirimn pahala untuk tabi’in. Lebih dari itu, Sebelas mazhab: Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Hambali, Sufyan Sauri, Sufyan ‘Uyainah, Lais bin Rahawaih, Ibnu Jarir, Imam Zhahiri(Zhahiriyyah), dan al-Auza’i menolak tahlilan dalam arti mengirim pahala dan perjamuannya (al-‘Alawi, [t.th.]: 69).
Banyak ulama Syafiiyyah mengatakan bahwa tahlilan adalah bid’ah (as-Sarbani,[t.th.]: 368; al-Qulyubi, [t.th.],I: 353; an-Nawawi, 1417 H,V:l86; al-Haitami,[t.th.],I:577; ad-Dimyati,[t.th.],II:146; al-Qirmani,no.18,1933:285; as-Sarbani, 1415 H,I:210. Para Ulama ini menulis kitab kuning yang menjadi kurikulum di pondok pesantren. Sepuluh mazhab yang lainnya juga senada dengan syafiiyyah, meskipun menggunakan term lain: Hanafiah mengatakannya bid’ah (al-Amin,1386 H,II:240), Malikiah mengatakannya bid’ah (ad-Dasuki,[t.th.],I:419), Hambaliah mengatakannya makruh dan seperti jahiliyah (al-Muqaddasi,1405 H,II:215) sebagaiannya mengharamkan dan sebagainnya mengatakannya bid’ah (Ibnu Taimiyyah,[t.th.],I:316). Sebenarnya, ulama Indonesia yang menulis kitab dan umumnya ulama kotemporer juga menolaknya. An-Nawawi Bantani mengatakan bahwa mengirim pahala kepada orang yang telah meninggal adalah haram. Arsyad al-Banjari dan al-Mawa’iz mengatakan bahwa mengirim pahala untuk orang yang telah mati adalah bid’ah. Dasar penolakan mereka adalah firman Allah sebagai berikut:

(yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain, dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya (QS an-Najm:38-39).
Berikut ini saya nukilkan langsung komentar para ulama berkaliber mujtahid, antara lain:
a. Imam Syafi’i sebagaimana diintrodusir oleh Imam Nawawi:
واما القراة القران فا المشهور من مذهب الشافعى أنه لا يصل ثوابها إلى الميت.ودليل الشافعى قول الله: وان ليس للإنسان إلى ما سعى وقول النبي إذا مات إبن ادم . . . . .
Mengenai bacaan al-Qur’an itu, yang popular dari mazhab Syafi’i, bahwasanya pahala itu tidak sampai kepada mayyit. Dalil Imam Syafi’i adalah firman Allah “Wa an laisa lil insaani illaa maa sa’a (Tidaklah bagi manusia itu memperoleh sesuatu (pahala) kecuali yang ia usahakan) dan sabda Nabi “Idzaa maat Ibnu Adama . . . (Apabila anak Adam mati . . .)
b. Ibnu Hajar al-Haitami
الميت لا يقراء عليه مبني على ما اطلقه المتقدمون من أن القراة لا تصله اي الميت. لأن ثوابها للقارءى . . . ودليله وان ليس للإنسان إلا ماسعى. والمشهور من مذهب الشافعى أن قرائة القران لا يصل للميت ثوابها
Mayit itu tidak dibacakan al-Quran untuknya. Para ulama Mutaqaddimun memutlakkan bahwa pahala membaca al-Qur’an itu tidak sampai ke mayyit. Pahala itu untuk yang membaca. Dalilnya adalah ‘Wa an laisa lil insaani illaa maa sa’a. Pendapat yang popular dari mazhab Syafi’i menyebutkan bahwa pahala pembacaan al-Qur’an itu tidak sampai kepada si mayyit.
c. Ibnu Katsir
اي كمالا لا يحمل عليه وزر غيره و كذالك لا يحصل من الاجر إلا ما كسب هو لنفسه. ومن هذه الاية الكريمة إستنبط الشافعى ومن اتبعه. أن القراة لا يصل إهدائه ثوابها إلى الموتى لأنه ليس من عملهم ولا كسبهم. ولهذا لا يندب إليه رسول الله صلى الله عليه وسلم امته ولا حثهم عليه ولا ارشدهم إليه بنص ولا ايماء ولم ينقل ذالك عن احد من الصحابة .
Jelasnya, seseorang itu tidak menanggung dosa dari orang lain, demikian juga pahala tidak akan sampai (kepada orang lain) kecuali apa yang telah dilakukannya oleh dirinya sendiri. Berkenaan dengan ayat yang mulya itu, Imam Syafi’i dan para pengikutnya beristinbat bahwa hadiah pahala dari bacaan itu tidak sampai kepada orang mati karena mereka (orang mati) itu bukanlah yang melakukannya. Rasulullah tidak menganjurkan dan tidak mendorong umatnya untuk melakukannya (hadiah pahala). Beliau tidak memberikan petunjuk dengan nash, tidak pula dapat dinukilkan satu orang pun dari para sahabat.
Selain itu, Surat Yasin ayat 70 menyebutkan bahwa seluruh petunjuk al-Qur’an, termasuk surat Yasin adalah untuk orang yang masih hidup, bukan untuk orang mati.

Supaya dia (Muhammad) memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup (hatinya) dan supaya pastilah (ketetapan azab) terhadap orang-orang kafir (QS Yasin:70).
Sedikit harap dipahami bahwa kata ‘hayyan’ dalam ayat tersebut berbentuk nakirah, artinya bersifat umum, bisa bermakna yang mati itu hatinya sebagaimana terjemahan departemen Agama, bisa juga berarti mati jiwaraganya, dalam arti orang yang sudah tidak hidup di dunia ini.
Para ulama di atas mengatakan bahwa pahala itu untuk orang yang membacanya (al-ajru li qaari’). Jadi pengiriman pahala itu tak akan sampai kepada orang mati yang ditujunya karena tidak ada makhluk apa pun yang diutus oleh Allah untuk menyampaikan pahala. Sementara itu, Allah telah menyatakan dengan tegas sebagaimana termaktub dalam surat an-Najm ayat 38-39 di atas, selain itu juga dalam surat al-Baqarah: 286,. . . Lahaa maa kasabat wa’alaiha maktasabat . . .(. . .Ia memperoleh pahala dari kebajikan yang diusahakannya, dan ia mendapat siksa dari kejahatan yang dilakukannya. . .)
Jika dengan peringatan dan dalil-dalil yang tegas dan jelas ini masih dilanggar, secara logis pahala yang dikirimkan itu muspro. Mengapa? orang berbuat tergantung dengan niatnya. Jika niatnya dikirimkan, berarti sudah tidak ada pahala padanya. Akan tetapi, pahala itu tidak sampai kepada mayat yang dituju. Jadi, yang namanya pahala itu entah ke mana . . .? Perbuatan tahlilan yang pahalanya dikirimkan itu ternyata sia-sia. Pahala sudah tidak dimiliki, tetapi juga tidak sampai kepada yang dituju. Selain itu, kesia-siaan juga terjadi karena ada unsur baru dalam berdoa, yaitu wasilah.
2. Wasilah (Perantara)
Di dalam pelaksanaan tahlian itu biasanya juga mengangkat ruh-ruh tertentu yang disebut wali. Wali itu lah yang diyakini menyampaikan doa yang dipanjatkan kepada Allah. Diantara walli-wali perantara itu adalah: Rasulullah, syuhada’ perang Badar, Syeikh Abdul Qadir al-Jaelani, Syeikh Junaid al-Baghdadi, Syeikh Naqshabandi, walisongo dll. Praktik ibadah semacam ini samasekali tidak diajarkan oleh Rasulullah. Selain itu, arti kata ‘wasilah’ yang termuat dalam doa yang dilafalkan setelah adzan itu bermakna kedudukan tinggi di surga. Demikian Sabda Rasul yang menunjukkan pernyataan ini:
عن عبد الله عمرو بن العاص رضي الله عنه, أنه سمع رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: إذا سمعت النداء فقولوا مثل ما يقول, ثم صلوا علي فإنه من صلى علي صلاة صلى الله عليه عشرا ثم سلوا الله لى الوسيلة فإنها منزلة فى الجنة لا تنبغى إلا لعبد من عباد الله, وارجوان اكون انا هو. فمن سئل الله لى الوسيلة حلت له الشفاعة (رواه مسلم)
Hadis dari Abdullah bin Amr bin ‘Ash ra., bahwa ia mendengar Rasulullah bersabda: jika kamu mendengar panggilan adzan, maka berkatalah seperti apa yang telah ia mengatakan – maksudnya mengikuti lafal adzan itu – kemudian bershalawatlah untuk ku, karena sesungguhnya barang siapa bershalawat untuk ku sekali, maka Allah akan bershalawat (mengaruniai kasih sayang) 10 kali. Selanjutnya mohonlah kepada Allah untuk ku al-wasilah. Sesungguhnya, wasilah itu adalah suatu tempat di surga, yang tidak pantas kecuali untuk hamba Allah di antara para hamba-Nya. Aku berharap bahwa aku adalah dia, hamba yang dimaksud. Barang siapa memohon kepada Allah untuk ku al-wasilah kebolehan baginya sayafaat (HR. Muslim).
Al-Qur’an surat al-Maidah ayat 35 yang menyebutkan kata wasilah itu diterjemahkan: jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya. Kitab tafsir apa pun, insya Allah menyebutkan bahwa jalan itu adalah amal sholeh, bukan ruh mediator. Sebaliknya Allah mengajarkan agar dalam berdoa itu:
a. Khaufan wa thama’a (harap-harap cemas kalau-kalau doanya tidak diterima, maka harus thama’ – dalam bahasa Indonesia menjadi kata ‘tamak’’). Allah berfirman:

Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik (QS.al-A’raf/7:56).
b. Penuh konsentrasi, tak perlu bersuara lantang. Allah berfirman:

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran (QS al-Baqarah/2:186).
c. Berdoa itu langsung kepada Allah. Berdasarkan naskah resmi dalam Islam, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah ash-shahihah al-muqbalah, Allah tidak pernah mengangkat ajudan apa atau siapa pun yang menghantar doa kepada-Nya. Berdoa hanya kepada-Nya, tidak pada yang lain. Demikian petunjuk-Nya:

Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan (QS.al-Fatihah/1:4).
Dengan demikian, berdoa kepada Rasulullah pun tidak ada syariatnya. Apalagi selain beliau. Tugas Rasulullah kepada umat manusia hanya menyampaikan, basyiiran wa nadziran (QS. A-Baqarah/2:119, al-Maidah/5:19, al-A’raf/7:188, Hud/11:2, as-Saba’/34:28, Fathir/35:24, dan Fushshilat/41:4) dengan al-Qur’an dan sunnah beliau sendiri, tidak lebih dari itu. Ketika Beliau wafat, selesailah tugasnya. Umat manusia tinggal hanya mengikuti dan melaksanakan tinggalan beliau, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah itu. Dengan selesainya tugas karena wafat, beliau tidak lagi berurusan dengan kehidupan dunia. Beliau pernah cerita bahwa besok di hari kiyamat, beliau menggiring umatnya agar mereka, semuanya, meminum di telaga al-haudl. Setelah sebagian meminumnya, tiba-tiba ada seruan, kepada beliau:
إنك لا تدرى ما احدثوا بعدك فاقول: سحقا سحقا لمن غير بعدى (متفق عليه عن ابى سعد الخدرى)
Sesungguhnya kamu (Muhammad) tidak tahu apa yang mereka perbuat sesudahmu. Maka aku berkata: Celaka! Celaka! Bagi orang yang mengubah-ubah sesudahku (HR Muttafaqun ‘alaih dari Abu Sa’id al-khudri).
Hadis ini menunjukkan bahwa
(1) Nabi Muhammad tidak tahu lagi apa yang diperbuat kita sekarang ini. Untuk itu, kepercayaan bahwa jika membaca naskah kitab al-Barjanji lalu Rasulullah datang dan memberi berkah itu hanyalah kebohongan nyata. Orang yang mengatakan bahwa Nabi pernah berkata “Man a’dhoma maulidi kuntu syafi’an lahu yaumal qiyamah” adalah kebohongan besar! Mengapa? Peringatan maulid Nabi pertama diadakan untuk pertama kali terjadi setelah 300 tahun lebih pasca wafat beliau. Tidak ada ceritanya sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in melakukan pengingatan maulid Nabi. Jika hadis itu benar, pasti sahabat sudah terlebih dulu melakukannya. Harap disadari bahwa saya tidak mengatakan bahwa peringatan maulid Nabi itu bid’ah, melainkan boleh-boleh saja, tergantung bagaimana pelaksanaannya. Kalau pelaksanaannya ada unsur berjanjen yang di dalamnya ada kepercayaan Beliau datang dan memberi berkah, tentu terjatuh kepada kepercayaan khurafat dan perbuatannya termasuk bid’ah. Kalau dalam berjanjen itu sekedar dibaca, direfleksikan dalam seni suara yang indah, kemudian isinya untuk i’tibar, tentu sangat bagus. Tetapi harap diwaspadai terhadap bait-bait tertentu, umpama lembar pertama dari naskah kitab al-Barjanji terdapat Nabi Muhammad sebagai ‘mahiya adz-dzunuub’(penghapus dosa), yaitu bait: “Assalaamu ‘alaik, ‘alaika yaa mahiya adz-dzunuubi”. Kepercayaan ini seperti orang Nasrani mempersepsi Yesus sang penebus dosa. Sebaiknya, menurut hemat penulis, bait itu diubah menjadi “as-Salaamu ‘alaik, ‘alaika yaa maahiyal kufra’ (keselamatan untuk Tuan, untuk tuan si penghapus kekufuran). Aqidah ini pasti benar atas dasar pengakuan beliau sendiri bahwa nama beliau adalah sebagaimana terungkap dalam sabda beliau sebagai berikut:

Tambahan, Dalam al-Qur’an disebutkan hingga 224 kali bahwa hanya Allah lah yang menghapus atau mengampuni dosa. Lha, kalau Allah sudah menginformasikan hingga sebanyak itu kok kita tetap mbrengkele berkeyakinan bahwa Rasulullah itu penebus dosa, kata apa lagi yang pantas diucapkan untuk mereka yang meyakini bahwa Rasulullah adalah maahiya adz-dzunuub?
Ada lagi jenis kesalahan, yaitu berdoa kepada Rasulullah, umpama: Qad dlaqat hilatii adriknii yaa Rasulullah (Keadaanku benar-benar telah mentog, maka dapatkanlah untukku ya Rasulullah). Pada umumnya, yang berdoa seperti itu tidak dalam kesempitan, melainkan penyelenggaraan ritual yang mengandung doa tersebut umumnya diselenggarakan secara kolosal, sarana prasarananya amat lengkap, termasuk uborampe-nya, para partisipannya sehat-sehat, dan pasti bermurah rezeki. Bagaimana bisa berkata “Qad dlaqat hilatii, yang intinya sangat berkesulitan dalam menghadapi persoalan?
(2) Nabi Muhammad mengutuk orang-orang yang mengubah-ubah atau mengada-adakan sesuatu (peribadatan). Justru mereka itu, atas dasar pemahaman logis hadis tersebut, nantinya tidak akan memperoeh bagian minum telaga al-Haudl. Menurut pemahaman penulis, mengirim pahala itu juga termasuk mengubah-ubah ajaran baku dalam Islam. Semula pahala hanya untuk yang berbuat, lalu diubah pahala bisa dikirimkan, kemudian mengirim pahala itu memperoleh pahala tersendiri atas dasar keyakinan birrul walidain atau amal sholeh. I’tibar yang diperoleh bahwa kalau sudah terlanjur berbuat salah maka akan menelorkan anak-cucu perbuatan-perbuatan lain yang juga pasti salah. Lebih runyam lagi kalau kesalahan itu tidak disadari dan malah dibungkus keyakinan ‘sebagai ijtihad’. Kesalahan pola semacam ini tentu akan menjadi laten dan permanen, tetapi tidak menyadari kesalahannya. Untuk itu, penulis mengajak pembaca untuk merenungkan dan selanjutnya menjadikannya pedoman pasti dalam beragama dari ayat berikut:

Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah- Qs al-An’am/6 :116).
Banyak sekali pola ibadah ciptaan manusia yang dasarnya hanyalah mengikuti leluhur, mengikuti para tokoh-tokoh agama, iman buta, dalam kata lain dhan (sangkaan belaka), atau sengaja mencampur aduk unsur-unsur non Islam ke dalam Islam. Tahlilan di dalamnya dicampur dengan upacara memperingati mayat pada hari ke 7, 40, 100, mendhak pisan, mendhak pindho, 1000, haul adalah campuran antara Islam dan Hindu. Mengirim pahala dalam tahlilan adalah campuran antara Islam, Hindu, dan impian orang-orang tertentu seperti al-Malibari. Tahlilan di dalamnya ada unsur hadiah pahala kepada si mayyit adalah campuran antara Islam dan ciptaan muslim tertentu, entah siapa yang memulainya. Pengiriman pahala dalam tahlilan dengan menggunakan perantara ruh-ruh tertentu adalah campuran antara semangat Hindu, ciptaan umat Islam, dan ajaran Islam. Tahlilan boleh dan sangat utama, tetapi harus berpola yang 100% berdasar syariat.
3. Makan-makan bersama setelah tahlilan dalam rangka memperingati orang mati
Dalam dialog antara Umar bin Khatab dan Jarir disebutkan sebagai berikut:
عمر : هل يناح على ميتكم؟
جرير: لا
عمر : فهل يجتمعون عند اهل الميت ويجعلون الطعام؟
جرير : نعم
عمر : ذاك النوح
Umar: Apakah kamu meratapi orangmu yang sudah mati?
Jarir : Tidak
Umar: Apakah mereka berkumpul di rumah keluarga si mayyit dan menyajikan makanan
Jarir : Ya
Umar: Itulah namanya meratapi orang mati.
Berkenaan dengan dialog antara Umar bin Khatab dan Jarir itu, Ibnu Katsir berkomentar ;Lau kaana khairan lasabaquuna ilaih” (Seandainya prefalensi itu baik, niscaya mereka (para sahabat Nabi) telah mendahuluinya (melakukan prefalensi).
Imam Syafi’i dalam kitabnya, al-Umm menulis bahwa:
وأكر المأتم وهي الجماعة وإن لم يكن لهم بكاء فإن ذالك يجدد الحزن.
Aku memakruhkannya al-ma’tam(prefalensi), yaitu berkumpul, meskipun mereka itu tidak menangis karena yang demikian itu
sebenarnya memperbaharui sungkawa (atas kematian seseorang (al-Umm,I:318)
II. Dasar-dasar Bacaan Tahlilan Dan Penjelasannya
1. Membaca Surat al-Fatihah
Salah satu inti redaksi surat al-Fatihah adalah penyataan hamba kepada Allah bahwa hanya kepada Allah lah ia menyembah dan memohon pertolongan, yaitu pada ayat “Iyya-Ka na’budu wa iyya-Ka nasta’iin. Karena pola kalimat ini adalah kalimat susun balik (konversi), yakni mendahulukan objek dan mengemudiankan subyek, maka menunjukkan makna doa langsung tanpa perantara dan hanya satu-satunya permohonan itu terarahkan kepada Allah.
Surat al-Fatihah disebut sab’un minal matsan, artinya tujuh ayat yang selalu diulang-ulang dibaca yaitu dalam shalat. Hal ini mengandung hikmah penanaman kesadaran kepada manusia supaya paham benar bahwa menyembah dan memohon pertolongan itu hanya kepada Allah dan langsung.
Disebut pernyataan dan doa mengandung pemahaman pula bahwa ketika si pembaca sampai pada ayat itu (Iyya-Ka nasta’iin) kesadarannya harus hadir, yaitu memohon apa ? ? ? kesadaran itu diisi memohonkan ampunan kepada si anu, Mbah anu, Pakdhe anu dst , , , itulah sebabnya ketika akan membaca secara koor (berjamaah) bisa didahului oleh Imam umpamanya dengan pernyataan liajli maghfirati (Untuk permohoman ampunan si . . . ). Al-Fatihah! Yang membaca memang masih hidup, tetapi dengan pola kata kerja yang menggunakan dlamir mustatir nahnu, artinya kita, maka dimaksudkan saudara kita seiman yang sudah meninggal pun tercakup dalam pengertian kita sebagai saudara seiman.
Dasar bahwa surat al-fatihah bisa digunakan sebagai pernyataan doa adalah hadis sebagai berikut:
ابى هريرة رضي الله عنه . . سمعت النبي صلى
الله عليه وسلم يقول: قال الله عز وجل قسمت الصلاة
بينى وبين عبدى نصفين, ولعبدى ما سأل, فإذا قال
العبد: الحمد لله رب العالمين, قال الله عز وجل حمدنى عبدى. وإذا قال الرحمن الرحيم, قال الله عز وجل أثنى علي عبدى. وإذا قال مالك يوم الدين,قال الله عز وجل: مجدنى عبدى. وقال مرة: فوض إلي
عبدى. فإذا قال: إياك نعبد وإياك نستعين, قال: هذا
بينى وبين عبدى ولعبدى ما سأل. فإذا قال: اهدنا
الصراط المستقيم صراط الذين انعمت عليهم غير
المغضوب عليهم ولا الضالين, قال: هذا لعبدى ولعبدى ما سأل (متفق عليه
Dari Abu Hurairah semoga Allah ridla kepadanya . . . aku mendengar Nabi saw bersabda, Allah ‘Azza waJalla berfirman: Aku bagi shalat (al-Fatihah) itu antara Aku dan hamba-Ku, untuk hamba-Ku apa yang ia minta. Ketika hamba berkata al-Hamdu lillaahi Rabbil ‘alamiin, Allah ‘Azza waJalla berfirman: Hamba-Ku memuji-Ku. Ketika hamba membaca ar-Rahmaanirrahiim, Allah ‘Azza waJalla berfirman: hamba-Ku menyanjung-Ku. Ketika hamba membaca Maaliki yaumiddiin, Allah ‘Azza waJalla berfirman: hambaku memuliakan Aku, di lain waktu beliau (Rasulullah) mengatakan ‘Hamba-ku menyerahkan kepada-Ku. Ketika hamba membaca Iyya-Ka na’budu wa iyya-Ka nasta’iin, Allah ‘Azza waJalla berfirman: Ini antara-Ku dan hambaku, dan bagi hamba-Ku apa yang ia minta. Ketika hamba-Ku membaca Ihdinaa ash-shiraathal mustaqiim shiraathalladziina an’amta ‘alaihim ghairil maghdluubi ‘alaihim walaa adl-dlalliin, Allah ‘azza waJalla berfirman: Ini untuk hamba-Ku. Bagi ham-Ku apa yang ia minta (HR Muttafaqun ‘alaih).
Di dalam hadis ini tertera wali’abdi maa saala (bagi hamba-Ku apa yang ia minta). Nah, di tempat inilah kesadaran dihadirkan kepada Allah minta apa? Tentu meminta ampunan orang yang telah minggal atau masih hidup dalam tahlilan itu. Pengertian ‘wali’abdii maa sa ala”tentu tidak termasuk memohon kepada Allah untuk menyampaikan pahala kepada mayyit. Mengapa? Ada pasal tersendiri sebagaimana disebut dalam surat an-Najm 38-39. Menurut pemahaman model ta’arrud antara hadis tersebut dengan ayat 38-39 an-Najm ini dan ayat-ayat lain yang semakna, pemecahannya adalah ayat tersebut merupakan pengususan dari keumuman lafal maa sa ala.
2. Membaca surat al-Ihlash
Salah satu inti makna redaksi surat al-Ihlash adalah pernyataan bahwa hanya kepada Allah kita bergantung. Lagi-lagi lafal ini merupakan kalimat susun balik,Allahu ash-Shamad, mengandung pengertian hanya kepada-Nya, tidak kepada yang lain dalam bergantung atau menggantungkan sesuatu – antara lain ampunan (dalam peristiwa tahlilan) atau yang lain.
3. Membaca surat al-Falaq
Salah satu inti redaksi surat al-Falaq adalah memohon perlindungan kepada Allah swt dari seluruh kekuatan jahad. Dengan demikian, dalam hajad berdoa untuk ampunan kerabat, leluhur, nenek moyang yang telah meninggal tidak tergoda oleh kekuatan jahad apapun, termasuk setan dan teman-temannya.
4. Membaca surat an-Naas
Salah satu inti redaksi surat an-Naas adalah memohon kepada Allah agar dalam kita berdoa – antara lain ampunan kepada yang sudah mati – itu mantap, tidak was-was bahwa Allah pasti mengabulkan permohonan kita, asal pendoa itu merupakan hamba Allah yang beriman, beramal shaleh, dan tidak maksiat. Allah adalah Shadiqul wa’dil amiin.
5. Membaca ayat Kursi.
Ayat kursi merupakan ayat khusus yang diberikan kepada Rasulullah, termasuk dan pasti untuk seluruh pengikutnya yang setia hingga akhir zaman. Terlalu banyak manfaat ayat kursi, antara lain: Malaikat rahmat turun untuk menebarkan rahmat dari Allah, dan menjauhkan setan dalam majlis ketika ayat ini dibaca. Disebutkan juga bahwa ayat Kursi adalah sayyidnya al-Qur’an (HR at-Turmudzi dari Abi Hurairah). Hadis lain menyebutkan bahwa Siapa membaca surat Ha’ Mim hingga ayat ilaihi al-mashiir dan ayat Kursi di waktu pagi ia dijaga hingga petang hari dan sebaliknya, HR at-Turmudzi dari Abi Hurairah). Disebutkan bahwa sebelum mencipta langit-langit dan bumi, Allah menetapkan dan menulis segala sesuatu selama 1000 tahun kemudian ditutup dengan dua ayat terakhir surat al-Baqarah. Barang siapa membaca kedua ayat tersebut tiga malam berturut-turut, maka setan tidak akan mendekat (HR at-Turmudzi dari Nu’man bin Basyir). Rasulullah juga mengatakan bahwa siapa yang membaca dua ayat terakhir dari surat al-Baqarah di suatu malam, maka keduanya mencukupi, HR at-Turmudzi. Maksudnya antara dalam penjagaan dari setan
6. Membaca Shalawat
Dalam surat al-Ahzab ayat 56 menyatakan bahwa Allah bershalawat kepada Rasulullah, dalam arti menganugerahkan shalawat kepada beliau. Malaikat bershalawat kepada Rasulullah, dalam arti mereka memohon kepada Allah agar mengenugerahkan shalawat kepada beliau. Selanjutnya kita diperintah supaya juga bershalawat, dalam arti berdoa kepada Allah agar Allah menganugerahkan shalawat kepada beliau. Arti praktis shalawat adalah kesejahteraan, kesentausaan, dan ketenteraman. Membaca shalwat juga memiliki keutamaan lain sebagaimana sabda beliau:
عن عبد الله بن أبى طلحة ,عن ابيه رضي الله عنه, أن رسول الله صلى الله عليه وسلم, جاء ذات يوم والبشرى فى وجهه فقلنا إنا لنرى البشرى فى وجهك , فقال: إنه اتانى الملك, فقال: يا محمد, أما يرضيك أنه لا يصلى عليك أحد
إلا صليت عليه عشرا ولا يسلم عليك احد إلا سلمت عليه عشرا (متفق عليه)
Dari Abdullah bin Abi Thalhah, dari ayahnya ra, bahwasanya Rasulullah datang pada suatu hari, sedang ada kegembiraan yang tampak di wajah beliau. Kami pun berkata: Kami melihat kegembiraan di wajahmu (ya Rasulullah). Beliau bersabda: Sesungguhnya seorang Malaikat datang kepadaku, kemudian berkata: Hai Muhammad, tidakkah kamu ridla bahwasanya tidak ada seorang pun yang mengucapkan shalawat kepadamu kecuali aku akan mengucapkan shalawat kepadanya 10 kali. Tidak ada seorang pun yang mengucapkan salam kepadamu kecuali aku akan mengucapkan salam kepadanya 10 kali (HR Muttafaqun ‘alaih).
Makna praktis hadis ini menunjukkan, bahwa jika kita bershalawat kepada Rasulullah, yakni membaca shalawat, Malaikat akan bershalawat kepada kita 10 kali lipat.
7. Membaca tahlil, Laa ilaaha illallah
Rasulullah bersabda: Afdlalu adz-dzikri laa ilaaha illallah HR. at-Turmudzi an Jabir wa qala hadiisun hasanun (Dzikir yang paling utama adalah membaca Laa ilaaha illallah HR at-Turmudzi, ia berkata hadis hasan). Rasulullah juga bersabda: Man qaala laa ilaaha illallaah dakhala al-jannah . . . (Barang siapa membaca laa ilaaha illallah masuk surga, HR at-Turmudzi dari az-Zuhri).Samurah bin Jundub juga meriwayatkan bahwa: Ahabbul kalaami ila-llaah arba’un laa yadlurruka biayyihinna bada’ta: Subhanallaah, walhamdulillaah, walaa ilaaha ila-llaah, wallaahu Akbar Rawahu Muslim (Ucapan yang paling disukai Allah ada empat, yaitu Subhanallaah, Walhamdulillah, walaa ilaaha illa-llah, Huwa-llaahu Akbar, HR Muslim). Tentu, sipembaca juga harus melaksanakan kewajiban-kewajiban agama seprti shalat, puasa, zakat dan haji kalau memang memiliki istitha’ah (kemampuan)
8. Membaca Tasbih
Hadis berikut berkenaan dengan keutamaan tasbih:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: كليمتان حبيبتان إلى الرحمن, خفيفتان على اللسان, ثقيلتان فى الميزان: سبحان الله وبحمده, سبحان الله العظيم. (رواه الشيخان عن ابى هريرة)
Rasulullah saw bersabda: Dua kalimah yang keduanya disenangi oleh Allah Yang Maha Rahman, ringan diucapkan dalam lisan, berat dalam timbangan: Subhaanallaahi wabihamdihi subhanallaahil ‘Adziim, (HR Syaikhani dari Abu Hurarairah).
Selain itu Rasulullah juga bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : من قال:سبحان الله وبحمده مائة مرة حطت عنه خطاياه وإكان مثل زبد البحر(متفق عليه عن
ابى هريرة)
Rasulullah saw bersabda: Barang siapa membaca Subhaanallaahi wabihamdih seratus kali, maka leburlah kesalahannya meskipun sebanyak buih laut (HR Muttafaqun ‘alaih dari Abi Hurairah).
9. Berdoa
Kedudukan berdoa amat sentral dalam ajaran Islam. Doa adalah ibadah itu sendiri. Rasulullah saw bersabda:
إن الدعاء هو العبادة (رواه الاربعة وصححة الترميذى عن النعمان بن بشير)
Sesungguhnya doa adalah ibadah itu sendiri (HR al-arba’ah dari Nu’man bin Basyir).
Doa, bahkan otak dari ibadah:
الدعاء مح العبادة (رواه الاربعة عن انس بن مالك)
Doa adalah otak ibadah (HR al-arba’ah dari Anas bin Malik).
Berdoa merupakan derajat yang paling mulia di sisi Allah:
ليس شيئ اكرم على الله من الدعاء (رواه الاربعة وصححه ابن حبان والحاكم عن ابى هريرة)
Tidak ada sesuatu yang lebih mulia di sisi Allah dari pada doa (HR.al-arba’ah dan disahkan oleh Ibnu Hibban dan Hakim dari Abi Hurairah).
10. Majlis dzikir
Ketika jamaah membaca tahlil, tahmid, tasbih, shalawat, baik dalam membaca itu sendiri-sendiri maupun berjamaah (koor), mereka dapat disebut ‘sedang dalam keadaan majlis dzikir’. Dalam posisi demikian Rasulullah bersabda demikian:
عن أبى هريرة رضي الله عنه قال, قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إن لله ملائكة يطوفون فى الطرق,يلتمسون أهل الذكر, فإذا وجدوا قوما
يذكرون الله تنادوا : هلموا إلى حاجتكم, قال:
فيحفونكم بأجنحتهم إلى السماء الدنيا, قال:
فيسئالهم ربهم: وهو اعلم منهم: ما يقول عبادى؟
قالوا: يقولون: يسبحونك ويكبرونك ويحمدونك
ويمجدونك.قال: فيقول هل رأونى؟ قال:فيقولون
:لا, والله ما راوك, فيقول وكيف لوراونى؟ قال:
لو راوك كانوا أشد لك عبادة واشد لك تمجيدا و
تحميدا واكثر تسبيحا, قال فيقول: فما يسألونى؟
قال, يسألونك الجنة, قال: يقول: وهل راوها؟
قال: يقولون: لا, والله يا رب. ما راوها, قال:
فكيف لو أنهم راوها؟ قال: يقولون: لو أنهم
كانوا أشد عليها حرصا وأشد لها طلبا وأعظم
فيها رغبة. قال: فمم يتعوذون قال: فيقولون:
من النار. قال: يقول: وهل رأوها,قال: يقولون
لا والله يا رب ما رأوها قال: يقول: فكيف لو